Sabtu, 12 Juni 2010

MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF DALAM
IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS
KOMPETENSI



Makalah








Oleh : Yenni Herlina (10251041D)


Mata kuliah : Manajemen Sistem Informasi
Dosen Pengasuh : M. Izman Herdiansyah,M.M,PhD
Materi/topik : E-Education/E-learning
Kelas : Reguler A
Semester : 1 (satu)
Paket : 2 (dua)
Angkatan : XV (lima belas)


PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS BINA DARMA
TAHUN 2010

KATA PENGANTAR


Puji syukur saya panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa, karena hanya rahmatnya jualah, saya dapat menyelesaikan tugas makala dengan topic E-Education yang saya beri judul Model Pembelajaran Inovatif dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Penyusunan tugas laporan ini adalah merupakan salah satu tugas dari mata kuliah Manajemen Sistem Informasi. Dalam rangka pendidikan program studi Pasca Sarjana Magister Manajemen di Universitas Bina Darma Palembang.
Dalam penyusunan tugas ini saya menyadari bahwa belumlah sempurna dimana masih banyak kekurangan disana-sini. Namun inilah kerja maksimal yang dapat saya lakukan. Dalam kesempatan ini saya juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bpk. M. Izman Herdiansyah, M.M,PhD, barkat bimbingan dan arahannya sebagai dosen pengasuh mata kuliah Manajemen Sistem Informasi.
2. Serta rekan-rekan seangkatan, yang telah membantu sehingga tugas ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya
Demikianlah harapan saya semoga tugas ini dapat berguna
Dan bermanfaat bagi pembaca.




Palembang, juni 2010
Penyusun




Yenni Herlina S,Pd


ABSTRAK


Peranan E-Education yang begitu banyak memberi konstribusi positif idealnya harus diterapkan disemua Pendidikan di Indonesia.Dari pendidikan dasar,menengah,hingga keperguruan tinggi.Namun pada kenyataannya penerapan pendidikan berbasis elektronik secara merata di Indonesia bukanlah tanpa kendala yang mennyebabkan IT dan internet belum dapat digunakan seoptimal mungkin pada dunia pendidikan
Penyebab utamanya karena ketersedian sumber daya manusia atau brainware.sehingga dunia pendidikan kurang dapat membuat model-model pembelajaran inovatif dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi.
Dalam dokumen Rencana Strategis (Renstra) Pendidikan Nasional 2005-2009 yang tertuang dalam Kepmen Mendiknas No.32 Tahun 2005,permasalahan pendidikan di Indonesia dikelompokkan menjadi 3 masalah besar,yaitu masalah yang berkaitan dengan (a)Pemerataan dan perluasan akses pendidikan,(b) Mutu,relevansi dan daya saing keluaran pendidikan, dan (c) Tata kelola,akuntabilitas dan citra public tentang pengelollan pendidikan.
Sebagai Negara yang dengan luas 5.193 ribu km persegi,jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa dengan penyebaran yang tidak merata,danperkembangan fasilitas pendidikan yang kurang memadai,menyebabkan permintaan terhadap pendidikan tidak terpenuhi baik secara kuanttitas maupun kualitas. Lembaga pendidikan masih belum cukup jumlahnya dan lebih banyak terdapat dikota-kota besar,sedangkan sebagian besar penduduk berada dipedesaan.
Keterbatasan anggaran tak bias dipungkiri menyebabkan keterbatasan pengembangan pendidikan ditanah air. Namun demikian, kontribusi positif yang besar bagi perkembangan pendidikan, E-Education menjadi slah satu solusi menerobos keterbatasan pendidikan konvensional yang berlaku saat ini. Untuk itu bagaimanakah seharusnya kita menerapkan E-Education dapat merata di tanah air, sehingga dunia pendidikan di Indonesia tidak kalah tertinggal dengan Negara-negara maju lainnya.


































BAB 1
PENDAHULUAN



Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, banyak upaya telah dilakukan oleh
pemerintah di Indonesia. Salah satu upaya yang dapat dirasakan secara nasional adalah
perubahan kurikulum. Sejak tahun 1980 hingga tahun 2000, Indonesia setidaknya tiga kali
telah mengalami perubahan kurikulum. Namun, patut diakui bahwa hasil-hasil pendidikan di
Indonesia masih jauh dari harapan. Lulusan sekolah di Indonesia masih sangat rendah tingkat
kompetisi dan relevansinya (Parawansa, 2001; Siskandar, 2003; Suyanto, 2001).
Rendahnya tingkat kompetisi dan relevansi lulusan tersebut dapat digunakan alternatif
refleksi bahwa tingkat kompetisi dan relevansi pembelajaran juga patut dipikirkan.
Kompetensi peserta didik sebagai produk pembelajaran sangat menentukan tingkat
kehidupannya kelak setelah mereka menjalani hidup di dunia nyata. Artinya, kompetensi itu
sangat penting bagi setiap orang dalam menghadapi perkembangan teknologi yang begitu
pesat. Lebih-lebih dalam menghadapi era informasi, AFTA, dan perdagangan bebas di abad
pengetahuan yang banyak ditandai oleh pergeseran peran manufaktur ke sektor jasa berbasis
pengetahuan, kompetensi itu merupakan salah satu faktor yang sangat menetukan kehidupan
manusia. Artinya, ketika kehidupan telah berubah menjadi semakin maju dan kompleks,
masalah kehidupan yang banyak diwarnai oleh fenomena dunia nyata diupayakan dapat
dijelaskan secara keilmuan. Berdasarkan pemilikan kompetensi keilmuan tersebut, maka
peserta didik diharapkan mampu memecahkan dan mengatasi permasalahan kehidupan yang
dihadapi dengan cara lebih baik, lebih cepat, adaptif, lentur, dan versatile.
Atas dasar pemikiran tersebut, di Indonesia mulai tahun 2004 secara serentak telah
diimplementasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Implementasi KBK yang
merupakan wujud perubahan kurikulum sebelumnya sepatutnya disertai perubahan cara
berpikir. Costa menyatakan changing curriculum means changing your mind (1999:26).
Perubahan pola berpikir yang dimaksud tidak hanya dilakukan oleh guru di sekolah, tetapi
juga oleh semua unsur praktisi dan teoretisi pendidikan. Perubahan pola pikir tersebut
diperlukan agar para Guru dapat secara optimal memfasilitasi siswanya belajar dengan KBK.
Guru diharapkan senantiasa berkolaborasi dan bersinergi memikirkan esensi KBK agar
implementasinya dapat berdampak positif bagi siswa di sekolah.
3
Beberapa penekanan perubahan pikiran yang diperlukan adalah: (1) dari peran guru
sebagai transmiter ke fasilitator, pembimbing dan konsultan, (2) dari peran guru sebagai
sumber pengetahuan menjadi kawan belajar, (3) dari belajar diarahkan oleh kurikulum
menjadi diarahkan oleh siswa sendiri, (4) dari belajar dijadwal secara ketat menjadi terbuka,
fleksibel sesuai keperluan, (5) dari belajar berdasararkan fakta menuju berbasis masalah dan
proyek, (6) dari belajar berbasis teori menuju dunia dan tindakan nyata serta refleksi, (7) dari
kebiasaan pengulangan dan latihan menuju perancangan dan penyelidikan, (8) dari taat aturan
dan prosedur menjadi penemuan dan penciptaan, (9) dari kompetitif menuju kolaboratif, (10)
dari fokus kelas menuju fokus masyarakat, (11) dari hasil yang ditentukan sebelumnya menuju
hasil yang terbuka, (12) dari belajar mengikuti norma menjadi keanekaragaman yang kreatif
(13) dari penggunaan komputer sebagai obyek belajar menuju penggunaan komputer sebagai
alat belajar, (14) dari presentasi media statis menuju interaksi multimedia yang dinamis, (15)
dari komunikasi sebatas ruang kelas menuju komunikasi yang tidak terbatas, (16) dari
penilaian hasil belajar secara normatif menuju pengukuran unjuk kerja yang komprehensif.
Pergeseran pola berpikir tersebut berimplikasi pada penetapan tatanan tertentu dalam
pembelajaran. Tatanan tertentu yang menjadi fokus pembelajaran mendasarkan diri pada
hakikat tuntutan perkembangan iptek. Beberapa kecenderungan tersebut, antara lain: (1)
penempatan empat pilar pendidikan UNESCO: learning to know, leraning to do, learning to
be, dan leraning to life together sebagai paradigma pembelajaran, (2) kecenderungan
bergesernya orientasi pembelajaran dari teacher centered menuju student centered, (3)
kecenderungan pergeseran dari content-based curriculum menuju competency-based
curriculum, (4) perubahan teori pembelajaran dan asesmen dari model behavioristik menuju
model konstruktivistik, dan (5) perubahan pendekatan teoretis menuju kontekstual, (6)
perubahan paradigma pembelajaran dari standardization menjadi customization, (7) dari
evaluasi dengan paper and pencil test yang hanya mengukur convergen thinking menuju openended
question, performance assessment, dan portfolio assessment, yang dapat mengukur
divergen thinking.
Perubahan-perubahan tersebut sangat strategis untuk diinternalisasi dan dipahami oleh
para guru di sekolah. Secara lebih spesifik, perubahan yang patut dipahami adalah yang
menyangkut pembelajaran. Pembelajaran yang dapat mengakomodasi implementasi KBK
tetunya juga harus berubah dari yang telah biasa dilakukan yang cenderung linear, statik, dan mekanistik menuju pada pembelajaran yang inovatif. Pembelajaran inovatif adalah
pembelajaran yang berlandaskan paradigma konstruktivitik yang senantiasa mengakomodasi
pengetahuan awal sebagai starting point.
Hasil survai di kota Malang, Surabaya, Palangkaraya, dan Singaraja mengungkapkan
bahwa para guru SD, SMP, dan SMA tampak belum memberdayakan pengetahuan awal
sebagai langkah awal dalam merancang pembelajaran (Ardhana et al., 2003; Ardhana et al.,
2004). Alasan para guru adalah, sangat sulit mengeksplorasi pengetahuan awal siswa. Para
guru cenderung merancang dan mengimplementasikan pembelajaran dengan pola mengajar
secara linear.
Secara umum, pengetahuan awal berpengaruh langsung dan tak langsung terhadap
proses pembelajaran. Secara langsung, pengetahuan awal dapat mempermudah proses
pembelajaran dan mengarahkan hasil-hasil belajar yang lebih baik. Secara tidak langsung,
pengetahuan awal dapat mengoptimalkan kejelasan materi-materi pelajaran dan meningkatkan
efisiensi penggunaan waktu belajar dan pembelajaran. Di samping itu, pengetahuan awal
mempengaruhi perasaan siswa dalam menilai informasi yang dipresentasikan dalam sumbersumber
belajar dan dalam kelas. Banyak pengetahuan awal yang belum ilmiah sangat resistan
untuk berubah. Perubahan pengetahuan awal menuju konsepsi ilmiah terjadi pada kuantitas
yang sangat terbatas, atau hanya sedikit konsepsi baru terbentuk dan diintegrasikan oleh para
siswa ke dalam pengetahuan yang telah dimiliki.
Pengetahuan awal menunjuk pada isi mata pelajaran. Pandangan konstruktivistik
memberikan wawasan bahwa konsepsi-konsepsi prapembelajaran menentukan proses dan
hasil belajar. Konsepsi tentang pengetahuan isi sangat penting untuk dikaji, karena sering
menimbulkan salah pemahaman. Duit (1996) menyatakan bahwa para siswa dan juga para
guru memiliki persepsi naif, mereka memandang pengetahuan dapat diproduksi secara
alamiah dan bukan hasil konstruksi manusia yang bersifat tentatif.
Konsepsi para guru mengenai tujuan-tujuan pembelajaran pada umumnya dan tujuan
sebuah peristiwa mengajar pada khususnya sering tidak sesuai dengan konsepsi para siswa. Di
satu sisi, para guru mungkin memiliki konsepsi bahwa suatu kejadian tunggal mencerminkan
fenomena-fenomena yang saling berhubungan. Di sisi lain, para siswa mungkin tidak memiliki
perspektif seperti itu. Jika ini terjadi dalam event belajar, maka muncullah misunderstanding
di kalangan siswa.
5
Dalam pembelajaran, para guru relatif sulit mengakomodasi pengetahuan awal siswa.
Oleh sebab itu, isu mengenai pengetahuan awal yang kurang ilmiah yang berurat berakar
secara kuat di benak siswa hendaknya secara kontinu menjadi pemikiran bagi para guru, para
pengambil keputusan pendidikan, dalam rangka mewujudkan pembelajaran yang bermakna.
Dua faktor cukup esensial dalam pembelajaran yang bermakna, yaitu orientasi desain
dan evaluasi pembelajaran. Pembelajaran hendaknya mencoba menggali kesulitan-kesulitan
belajar para siswa berbasis pengetahuan awal dengan desain pembelajaran berorientasi pada
fenomena dunia nyata. Pembelajaran hendaknya diupayakan dapat memberdayakan
pengetahuan awal dan evaluasi yang komprehesif, kerja individu berbasis proyek, pemecahan
masalah kolaboratif, dan kerja kooperatif dalam kelompok-kelompok kecil. Upaya-upaya
tersebut merupakan bagian integral pendekatan konstruktivistik.
BAB 2
PEMBAHASAN



2. MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa hadirnya KBK berarti menuntut
diimplementasikannya pembelajaran inovatif. Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran
yang lebih bersifat student centered. Artinya, pembelajaran yang lebih memberikan peluang
kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan secara mandiri (self directed) dan dimediasi
oleh teman sebaya (peer mediated instruction). Pembelajaran inovatif mendasarkan diri pada
paradigma konstruktivistik.
Pembelajaran inovatif yang berlandaskan paradigma konstruktivistik membantu siswa
untuk menginternalisasi, membentuk kembali, atau mentransformasi informasi baru.
Transformasi terjadi melalui kreasi pemahaman baru (Gardner, 1991) yang merupakan hasil
dari munculnya struktur kognitif baru. Pemahaman yang mendalam terjadi ketika hadirnya
informasi baru yang mendorong munculnya atau menaikkan struktur kognitif yang
memungkinkan para siswa memikirkan kembali ide-ide mereka sebelumnya. Dalam seting
kelas konstruktivistik, para siswa bertanggung jawab terhadap belajarannya, menjadi pemikir
yang otonom, mengembangkan konsep terintegrasi, mengembangkan pertanyaan yang
menantang, dan menemukan jawabannya secara mandiri (Brook & Brook, 1993; Duit, 1996;
Savery & Duffy, 1996). Tujuh nilai utama konstruktivisme, yaitu: kolaborasi, otonomi
6
individu, generativitas, reflektivitas, keaktifan, relevansi diri, dan pluralisme. Nilai-nilai
tersebut menyediakan peluang kepada siswa dalam pencapaian pemahaman secara mendalam.
Seting pengajaran konstruktivistik yang mendorong konstruksi pengetahuan secara
aktif memiliki beberapa ciri: (1) menyediakan peluang kepada siswa belajar dari tujuan yang
ditetapkan dan mengembangkan ide-ide secara lebih luas; (2) mendukung kemandirian siswa
belajar dan berdiskusi, membuat hubungan, merumuskan kembali ide-ide, dan menarik
kesimpulan sendiri; (3) sharing dengan siswa mengenai pentingnya pesan bahwa dunia adalah
tempat yang kompleks di mana terdapat pandangan yang multi dan kebenaran sering
merupakan hasil interpretasi; (4) menempatkan pembelajaran berpusat pada siswa dan
penilaian yang mampu mencerminkan berpikir divergen siswa.
Urutan-urutan mengajar konstruktivistik melibatkan suatu periode di mana
pengetahuan awal para siswa didiskusikan secara eksplisit. Dalam diskusi kelas yang
menyerupai negosiasi, guru memperkenalkan konsepsi untuk dipelajari dan
mengembangkannya. Strategi konflik kognitif cenderung memainkan peranan utama ketika
pengetahuan awal para siswa diperbandingkan dengan konsepsi yang diperlihatkan oleh guru.
Untuk maksud tersebut, pemberdayaan pengetahuan awal para siswa sebelum pembelajaran
adalah salah satu langkah yang efektif dalam pembelajaran konstruktivistik.
Beberapa pendekatan pembelajaran sering berfokus pada kemampuan metakognitif
para siswa. Para siswa diberikan kebebasan dalam mengembangkan keterampilan berpikir.
Pembelajaran mencoba memandu para siswa menuju pandangan konstruktivistik mengenai
belajar, bahwa siswa sendiri secara aktif mengkonstruksi pengetahuan mereka. Penelitian
sebelumnya telah mengungkapkan bahwa pembelajaran inovatif dapat meningkatkan proses
dan hasil belajar siswa (Ardhana et al., 2003; Sadia et al., 2004; Santyasa et al., 2003).
Seirama dengan kesesuaian penerapan paradigma pembelajaran, tidak terlepas pula
dalam penetapan tujuan belajar yang disasar dan hasil belajar yang diharapkan.
Tujuan belajar menurut paradigma konstruktivistik mendasarkan diri pada tiga fokus
belajar, yaitu: (1) proses, (2) tranfer belajar, dan (3) bagaimana belajar.
Fokus yang pertama—proses, mendasarkan diri pada nilai sebagai dasar untuk
mempersepsi apa yang terjadi apabila siswa diasumsikan belajar. Nilai tersebut didasari oleh
asumsi, bahwa dalam belajar, sesungguhnya siswa berkembang secara alamiah. Oleh sebab
itu, paradigma pembelajaran hendaknya mengembalikan siswa ke fitrahnya sebagai manusia
7
dibandingkan hanya menganggap mereka belajar hanya dari apa yang dipresentasikan oleh
guru. Implikasi nilai tersebut melahirkan komitmen untuk beralih dari konsep pendidikan
berpusat pada kurikulum menuju pendidikan berpusat pada siswa. Dalam pendidikan berpusat
pada siswa, tujuan belajar lebih berfokus pada upaya bagaimana membantu para siswa
melakaukan revolusi kognitif. Model pembelajaran perubahan konseptual (Santyasa, 2004)
merupakan alternatif strategi pencapaian tujuan pembelajaran tersebut. Pembelajaran yang
fokus pada proses pembelajaran adalah suatu nilai utama pendekatan konstruktivstik.
Fokus yang kedua—transfer belajar, mendasarkan diri pada premis “siswa dapat
menggunakan dibandingkan hanya dapat mengingat apa yang dipelajari”. Satu nilai yang
dapat dipetik dari premis tersebut, bahwa belajar bermakna harus diyakini memiliki nilai yang
lebih baik dibandingkan dengan belajar menghafat, dan pemahaman lebih baik dibandingkan
hafalan. Sebagai bukti pemahaman mendalam adalah kemampuan mentransfer apa yang
dipelajari ke dalam situasi baru.
Fokus yang ketiga—bagimana belajar (how to learn) memiliki nilai yang lebih penting
dibandingkan dengan apa yang dipelajari (what to learn). Alternatif pencapaian learning how
to learn, adalah dengan memberdayakan keterampilan berpikir siswa. Dalam hal ini,
diperlukan fasilitas belajar untuk ketarampilan berpikir. Belajar berbasis keterampilan berpikir
merupakan dasar untuk mencapai tujuan belajar bagaimana belajar (Santyasa, 2003).
Desain pembelajaran yang konsisten dengan tujuan belajar yang disasar tersebut
tentunya diupayakan pula untuk mencapai hasil belajar sesuai dengan yang diharapkan.
Paradigma tentang hasil belajar yang berasal dari tujuan belajar kekinian tersebut hendaknya
bergeser dari belajar hafalan menuju belajar mengkonstruksi pengetahuan.
Belajar hafalan, miskin dengan retensi, transfer, dan hasil belajar. siswa tidak
menyediakan perhatian terhadap informasi relevan yang diterimanya. Belajar hafalan, hanya
mampu mengingat informasi-informasi penting dari pelajaran, tetapi tidak bisa menampilkan
unjuk kerja dalam menerapkan informasi tersebut dalam memecahkan masalah-masalah baru.
Siswa hanya mampu menambah informasi dalam memori. Belajar mengkonstruksi
pengetahuan dapat menampilkan unjuk kerja retensi dan transfer. Siswa mencoba membuat
gagasan tentang informasi yang diterima, mencoba mengembangkan model mental dengan
mengaitkan hubungan sebab akibat, dan menggunakan proses-proses kognitif dalam belajar.
Proses-proses kognitif utama meliputi penyediaan perhatian terhadap informasi-informasi
8
yang relevan dengan seleksi, mengorganisasi infromasi-informasi tersebut dalam representasi
yang koheren melalui proses pengorganisasian, dan menggabungkan representasi-representasi
tersebut dengan pengetahuan yang telah ada di benaknya melalui proses integrasi. Hasil-hasil
belajar tersebut secara teoretik menjamin siswa untuk memperoleh keterampilan penerapan
pengetahuan secara bermakna. Dalam hal ini, peranan guru sangat strategis untuk membantu
siswa mengkonstruksi tujuan belajar.
Menurut hasil forum Carnegie tentang pendidikan dan ekonomi (Arend et al., 2001), di
abad informasi ini terdapat sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh Guru dalam
pembelajaran. Kemampuan-kemampuan tersebut, adalah memiliki pemahaman yang baik
tentang kerja baik fisik maupun sosial, memiliki rasa dan kemampuan mengumpulkan dan
menganalisis data, memiliki kemampuan membantu pemahaman siswa, memiliki kemampuan
mempercepat kreativitas sejati siswa, dan memiliki kemampuan kerja sama dengan orang lain.
Para Guru diharapkan dapat belajar sepanjang hayat seirama dengan pengetahuan yang
mereka perlukan untuk mendukung pekerjaannya serta menghadapi tantangan dan kemajuan
sains dan teknologi. Guru tidak diharuskan memiliki semua pengetahuan, tetapi hendaknya
memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang mereka perlukan, di mana
memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Para guru diharapkan bertindak atas dasar
berpikir yang mendalam, bertindak independen dan kolaboratif satu sama lain, dan siap
menyumbangkan pertimbangan-pertimbangan kritis. Para guru diharapkan menjadi
masyarakat memiliki pengetahuan yang luas dan pemahaman yang mendalam. Di samping
penguasaan materi, guru juga dituntut memiliki keragaman model atau strategi pembelajaran,
karena tidak ada satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan
belajar dari topik-topik yang beragam.
Secara lebih spesifik, peranan guru dalam pembelajaran adalah sebagai expert
learners, sebagai manager, dan sebagai mediator.
Sebagai expert learners, guru diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang
materi pembelajaran, menyediakan waktu yang cukup untuk siswa, menyediakan masalah dan
alternatif solusi, memonitor proses belajar dan pembelajaran, merubah strategi ketika siswa
sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan
psikomotor siswa.
9
Sebagai manager, guru berkewajiban memonitor hasil belajar para siswa dan masalahmasalah
yang dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan hubungan interpersonal, dan
memonitor ketepatan penggunaan waktu dalam menyelesaikan tugas. Dalam hal ini, guru
berperan sebagai expert teacher yang memberi keputusan mengenai isi, menseleksi prosesproses
kognitif untuk mengaktifkan pengetahuan awal dan pengelompokan siswa.
Sebagai mediator, guru memandu mengetengahi antar siswa, membantu para siswa
memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi representasi visual dari suatu masalah,
memandu para siswa mengembangkan sikap positif terhadap belajar, pemusatan perhatian,
mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan awal, dan menjelaskan bagaimana
mengaitkan gagasan-gagasan para siswa, pemodelan proses berpikir dengan menunjukkan
kepada siswa ikut berpikir kritis.
Terkait dengan desain pembelajaran, peran guru adalah mengkreasi dan memahami
model-model pembelajaran inovatif. Gunter et al (1990:67) mendefinisikan an instructional
model is a step-by-step procedure that leads to specific learning outcomes. Joyce & Weil
(1980) mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan
sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran
merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model
pembelajaran cenderung preskriptif, yang relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran.
An instructional strategy is a method for delivering instruction that is intended to help
students achieve a learning objective (Burden & Byrd, 1999:85).
Selain memperhatikan rasional teoretik, tujuan, dan hasil yang ingin dicapai, model
pembelajaran memiliki lima unsur dasar (Joyce & Weil (1980), yaitu (1) syntax, yaitu
langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system, adalah suasana dan norma yang
berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction, menggambarkan bagaimana
seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon siswa, (4) support system,
segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5)
instructional dan nurturant effects—hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan
yang disasar (instructional effects) dan hasil belajar di luar yang disasar (nurturant effects).
Berikut diberikan delapan contoh model pembelajaran yang berlandaskan paradigma
konstruktivistik, yaitu: model reasoning and problem solving, model inquiry training, model
10
problem-based instruction, model pembelajaran perubahan konseptual, model group
investigation, model problem-based learning, model penelitian Jurisprudensial, dan model
penelitian sosial.
2.1 Model Reasoning and Problem Solving
Di abad pengetahuan ini, isu mengenai perubahan paradigma pendidikan telah gencar
didengungkan, baik yang menyangkut content maupun pedagogy. Perubahan tersebut meliputi
kurikulum, pembelajaran, dan asesmen yang komprehensif (Krulik & Rudnick, 1996).
Perubahan tersebut merekomendasikan model reasoning and problem solving sebagai
alternatif pembelajaran yang konstruktif. Rasionalnya, bahwa kemampuan reasoning and
problem solving merupakan keterampilan utama yang harus dimiliki siswa ketika mereka
meninggalkan kelas untuk memasuki dan melakukan aktivitas di dunia nyata.
Reasoning merupakan bagian berpikir yang berada di atas level memanggil (retensi),
yang meliputi: basic thinking, critical thinking, dan creative thinking. Termasuk basic thinking
adalah kemampuan memahami konsep. Kemampuan-kemapuan critical thinking adalah
menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi aspek-aspek yang fokus pada masalah,
mengumpulkan dan mengorganisasi informasi, memvalidasi dan menganalisis informasi,
mengingat dan mengasosiasikan informasi yang dipelajari sebelumnya, menentukan jawaban
yang rasional, melukiskan kesimpulan yang valid, dan melakukan analisis dan refleksi.
Kemampuan-kemampuan creative thinking adalah menghasilkan produk orisinil, efektif, dan
kompleks, inventif, pensintesis, pembangkit, dan penerap ide.
Problem adalah suatu situasi yang tak jelas jalan pemecahannya yang
mengkonfrontasikan individu atau kelompok untuk menemukan jawaban dan problem solving
adalah upaya individu atau kelompok untuk menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan,
pemahaman, keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya dalam rangka memenuhi tuntutan
situasi yang tak lumrah tersebut (Krulik & Rudnick, 1996). Jadi aktivitas problem solving
diawali dengan konfrontasi dan berakhir apabila sebuah jawaban telah diperoleh sesuai dengan
kondisi masalah. Kemampuan pemecahan masalah dapat diwujudkan melalui kemampuan
reasoning.
Model reasoning and problem solving dalam pembelajaran memiliki lima langkah
pembelajaran (Krulik & Rudnick, 1996), yaitu: (1) membaca dan berpikir (mengidentifikasi
fakta dan masalah, memvisualisasikan situasi, mendeskripsikan seting pemecahan, (2)
11
mengeksplorasi dan merencanakan (pengorganisasian informasi, melukiskan diagram
pemecahan, membuat tabel, grafik, atau gambar), (3) menseleksi strategi (menetapkan pola,
menguji pola, simulasi atau eksperimen, reduksi atau ekspansi, deduksi logis, menulis
persamaan), (4) menemukan jawaban (mengestimasi, menggunakan keterampilan komputasi,
aljabar, dan geometri), (5) refleksi dan perluasan (mengoreksi jawaban, menemukan alternatif
pemecahan lain, memperluas konsep dan generalisasi, mendiskusikan pemecahan,
memformulasikan masalah-masalah variatif yang orisinil).
Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya peran guru sebagai transmiter
pengetahuan, demokratis, guru dan siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi
masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan.
Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor,
konsultan, sumber kritik yang konstruktif, fasilitator, pemikir tingkat tinggi. Peran tersebut
ditampilkan utamanya dalam proses siswa melakukan aktivitas pemecahan masalah.
Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang mampu
membangkitkan proses berpikir dasar, kritis, kreatif, berpikir tingkat tinggi, dan strategi
pemecahan masalah non rutin, dan masalah-masalah non rutin yang menantang siswa untuk
melakukan upaya reasoning dan problem solving.
Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini adalah pemahaman, keterampilan
berpikir kritis dan kreatif, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi,
keterampilan mengunakan pengetahuan secara bermakna. Sedangkan dampak pengiringnya
adalah hakikat tentatif krilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi dan kebebasan siswa,
toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.
2.2 Model Inquiry Training
Untuk model ini, terdapat tiga prinsip kunci, yaitu pengetahuan bersifat tentatif,
manusia memiliki sifat ingin tahu yang alamiah, dan manusia mengembangkan indivuality
secara mandiri. Prinsip pertama menghendaki proses penelitian secara berkelanjutan, prinsip
kedua mengindikasikan pentingkan siswa melakukan eksplorasi, dan yang ketiga—
kemandirian, akan bermuara pada pengenalan jati diri dan sikap ilmiah.
Model inquiry training memiliki lima langkah pembelajaran (Joyce & Weil, 1980),
yaitu: (1) menghadapkan masalah (menjelaskan prosedur penelitian, menyajikan situasi yang
saling bertentangan), (2) menemukan masalah (memeriksa hakikat obyek dan kondisi yang
12
dihadapi, memeriksa tampilnya masalah), (3) mengkaji data dan eksperimentasi (mengisolasi
variabel yang sesuai, merumuskan hipotesis), (4) mengorganisasikan, merumuskan, dan
menjelaskan, dan (5) menganalisis proses penelitian untuk memperoleh prosedur yang lebih
efektif.
Sistem sosial yang mendukung adalah kerjasama, kebebasan intelektual, dan kesamaan
derajat. Dalam proses kerjasama, interaksi siswa harus didorong dan digalakkan. Lingkungan
intelektual ditandai oleh sifat terbuka terhadap berbagai ide yang relevan. Partisipasi guru dan
siswa dalam pembelajaran dilandasi oleh paradigma persamaan derajat dalam
mengakomodasikan segala ide yang berkembang.
Prinsip-prinsip reaksi yang harus dikembangkan adalah: pengajuan pertanyaan yang
jelas dan lugas, menyediakan kesempatan kepada siswa untuk memperbaiki pertanyaan,
menunjukkan butir-butir yang kurang sahih, menyediakan bimbingan tentang teori yang
digunakan, menyediakan suasana kebebasan intelektual, menyediakan dorongan dan dukungan
atas interaksi, hasil eksplorasi,formulasi, dan generalisasi siswa.
Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang mampu
membangkitkan proses intelektual, strategi penelitian, dan masalah yang menantang siswa
untuk melakukan penelitian.
Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini adalah strategi penelitian dan semangat
kreatif. Sedangkan dampak pengiringnya adalah hakikat tentatif krilmuan, keterampilan proses
keilmuan, otonomi siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.
2.3 Model Problem-Based Instruction
Problem-based instruction adalah model pembelajaran yang berlandaskan paham
konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan siswa dalam belajar dan pemecahan
masalah otentik (Arends et al., 2001). Dalam pemrolehan informasi dan pengembangan
pemahaman tentang topik-topik, siswa belajar bagaimana mengkonstruksi kerangka masalah,
mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah, mengumpulkan dan menganalisis data,
menyusun fakta, mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan masalah, bekerja secara
individual atau kolaborasi dalam pemecahan masalah.
Model problem-based instruction memiliki lima langkah pembelajaran (Arend et al.,
2001), yaitu: (1) guru mendefisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang berkaitan
(masalah bisa untuk satu unit pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu, dua, atau tiga
13
minggu, bisa berasal dari hasil seleksi guru atau dari eksplorasi siswa), (2) guru membantu
siswa mengklarifikasi masalah dan menentukan bagaimana masalah itu diinvestigasi
(investigasi melibatkan sumber-sumber belajar, informasi, dan data yang variatif, melakukan
surve dan pengukuran), (3) guru membantu siswa menciptakan makna terkait dengan hasil
pemecahan masalah yang akan dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa
rasionalnya), (4) pengorganisasian laporan (makalah, laporan lisan, model, program komputer,
dan lain-lain), dan (5) presentasi (dalam kelas melibatkan semua siswa, guru, bila perlu
melibatkan administator dan anggota masyarakat).
Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru dengan siswa dalam
proses teacher-asisted instruction, minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan,
interaksi sosial yang efektif, latihan investigasi masalah kompleks.
Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai pembimbing
dan negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan selama proses
pendefinisian dan pengklarifikasian masalah.
Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar,
panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, artikel, jurnal, kliping, peralatan demonstrasi
atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau
ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.
Dampak pembelajaran adalah pemahaman tentang kaitan pengetahuan dengan dunia
nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan dalam pemecahan masalah kompleks.
Dampak pengiringnya adalah mempercepat pengembangan self-regulated learning,
menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam mengatasi keragaman
siswa.
2.4 Model Pembelajaran Perubahan Konseptual
Pengetahuan yang telah dimiliki oleh seseorang sesungguhnya berasal dari
pengetahuan yang secara spontan diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan. Sementara
pengetahuan baru dapat bersumber dari intervensi di sekolah yang keduanya bisa konflik,
kongruen, atau masing-masing berdiri sendiri. Dalam kondisi konflik kognitif, siswa
dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu: (1) mempertahankan intuisinya semula, (2) merevisi
sebagian intuisinya melalui proses asimilasi, dan (3) merubah pandangannya yang bersifat
intuisi tersebut dan mengakomodasikan pengetahuan baru. Perubahan konseptual terjadi
14
ketika siswa memutuskan pada pilihan yang ketiga. Agar terjadi proses perubahan konseptual,
belajar melibatkan pembangkitan dan restrukturisasi konsepsi-konsepsi yang dibawa oleh
siswa sebelum pembelajaran (Brook & Brook, 1993). Ini berarti bahwa mengajar bukan
melakukan transmisi pengetahuan tetapi memfasilitasi dan memediasi agar terjadi proses
negosiasi makna menuju pada proses perubahan konseptual (Hynd, et al,. 1994). Proses
negosiasi makna tidak hanya terjadi atas aktivitas individu secara perorangan, tetapi juga
muncul dari interaksi individu dengan orang lain melalui peer mediated instruction. Costa
(1999:27) menyatakan meaning making is not just an individual operation, the individual
interacts with others to construct shared knowledge.
Model pembelajaran perubahan konseptual memiliki enam langkah pembelajaran
(Santyasa, 2004), yaitu: (1) Sajian masalah konseptual dan kontekstual, (2) konfrontasi
miskonsepsi terkait dengan masalah-masalah tersebut, (3) konfrontasi sangkalan berikut
strategi-strategi demonstrasi, analogi, atau contoh-contoh tandingan, (4) konfrontasi
pembuktian konsep dan prinsip secara ilmiah, (5) konfrontasi materi dan contoh-contoh
kontekstual, (6) konfrontasi pertanyaan-pertanyaan untuk memperluas pemahaman dan
penerapan pengetahuan secara bermakna.
Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru sebagai teman belajar
siswa, minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, interaksi sosial yang efektif,
latihan menjalani learning to be.
Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai fasilitator,
negosiator, konfrontator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan atau tertulis
melalui pertanyaan-pertanyaan resitasi dan konstruksi. Pertanyaan resitasi bertujuan memberi
peluang kepada siswa memangil pengetahuan yang telah dimiliki dan pertanyaan konstruksi
bertujuan menegosiasi dan mengkonfrontasi siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan baru.
Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar,
panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan eksperimen yang sesuai, model
analogi, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi.
Dampak pembelajaran dari model ini adalah: sikap positif terhadap belajar,
pemahaman secara mendalam, keterampilan penerapan pengetahuan yang variatif. Dampak
pengiringnya adalah: pengenalan jati diri, kebiasaan belajar dengan bekerja, perubahan
paradigma, kebebasan, penumbuhan kecerdasan inter dan intrapersonal .
15
2.5 Model Group Investigation
Ide model pembelajaran geroup investigation bermula dari perpsektif filosofis terhadap
konsep belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan atau teman. Pada
tahun 1916, John Dewey, menulis sebuah buku Democracy and Education (Arends, 1998).
Dalam buku itu, Dewey menggagas konsep pendidikan, bahwa kelas seharusnya merupakan
cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata.
Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob, et al., 1996), adalah: (1) siswa
hendaknya aktif, learning by doing; (2) belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik; (3)
pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap; (4) kegiatan belajar hendaknya sesuai
dengan kebutuhan dan minat siswa; (5) pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan
prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur demokratis
sangat penting; (6) kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata.
Gagasan-gagasan Dewey akhirnya diwujudkan dalam model group-investigation yang
kemudian dikembangkan oleh Herbert Thelen. Thelen menyatakan bahwa kelas hendaknya
merupakan miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial antar pribadi
(Arends, 1998). Model group-investigation memiliki enam langkah pembelajaran (Slavin,
1995), yaitu: (1) grouping (menetapkan jumlah anggota kelompok, menentukan sumber,
memilih topik, merumuskan permasalahan), (2) planning (menetapkan apa yang akan
dipelajari, bagaimana mempelajari, siapa melakukan apa, apa tujuannya), (3) investigation
(saling tukar informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi, mengumpulkan informasi, menganalisis
data, membuat inferensi), (4) organizing (anggota kelompok menulis laporan, merencanakan
presentasi laporan, penentuan penyaji, moderator, dan notulis), (5) presenting (salah satu
kelompok menyajikan, kelompok lain mengamati, mengevaluasi, mengklarifikasi,
mengajukan pertanyaan atau tanggapan), dan (6) evaluating (masing-masing siswa melakukan
koreksi terhadap laporan masing-masing berdasarkan hasil diskusi kelas, siswa dan guru
berkolaborasi mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan, melakukan penilaian hasil belajar
yang difokuskan pada pencapaian pemahaman.
Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya arahan guru, demokratis, guru dan
siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh
kesepakatan.
16
Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor,
konsultan, sumber kritik yang konstruktif. Peran tersebut ditampilkan dalam proses
pemecahan masalah, pengelolaan kelas, dan pemaknaan perseorangan. Peranan guru terkait
dengan proses pemecahan masalah berkenaan dengan kemampuan meneliti apa hakikat dan
fokus masalah. Pengelolaan ditampilkan berkenaan dengan kiat menentukan informasi yang
diperlukan dan pengorganisasian kelompok untuk memperoleh informasi tersebut. Pemaknaan
perseorangan berkenaan dengan inferensi yang diorganisasi oleh kelompok dan bagaimana
membedakan kemampuan perseorangan.
Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar,
panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan penelitian yang sesuai, meja dan
korsi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.
Sebagai dampak pembelajaran adalah pandangan konstruktivistik tentang pengetahuan,
penelitian yang berdisiplin, proses pembelajaran yang efektif, pemahaman yang mendalam.
Sebagai dampak pengiring pembelajaran adalah hormat terhadap HAM dan komitmen dalam
bernegara, kebebasan sebagai siswa, penumbuhan aspek sosial, interpersonal, dan
intrapersonal.
2.6 Model problem-based learning
Problem-based learning adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat
konfrontasi kepada pebelajar dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau
open-ended melalui stimulus dalam belajar (Fogarty, 1997).
Model problem based learning memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1)
belajar dimulai dengan suatu permasalahan, (2) memastikan bahwa permasalahan yang
diberikan berhubungan dengan dunia nyata pebelajar, (3) mengorganisasikan pelajaran di
seputar permasalahan, bukan di seputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab
sepenuhnya kepada pebelajar dalam mengalami secara langsung proses belajar mereka sendiri,
(5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pebelajar untuk mendemonstrasikan apa
yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja (performance).
Masalah dalam model problem based learning mengintegrasikan komponen-komponen
konteks permasalahan, representasi atau simulasi masalah, dan manipulasi ruang
permasalahan. Masalah yang diberikan kepada pebelajar dikemas dalam bentuk ill-defined.
17
Representasi atau simulasi masalah dapat dibuat secara naratif, yang mengacu pada
permasalahan kontekstual, nyata dan authentik. Manipulasi ruang permasalahan memuat
objek-objek, tanda-tanda, dan alat-alat yang dibutuhkan pebelajar dalam memecahkan
masalah. Manipulasi ruang permasalahan memungkinkan terjadinya belajar secara aktif dan
bermakna. Aktivitas menggambarkan interaksi antara pebelajar, objek yang dipakai, dan
tanda-tanda serta alat-alat yang menjadi mediasi dalam interaksi.
Model problem-based learning dijalankan dengan 8 langkah, yaitu: (1) menemukan
masalah, (2) mendefinisikan masalah, (3) mengumpulkan fakta-fakta, (4) menyusun dugaan
sementara, (5) menyelidiki, (6) menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan, (7)
menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif, (8) menguji solusi
permasalahan (Fogarty, 1997).
Menemukan masalah. Pebelajar diberikan masalah berstruktur ill-defined yang
diangkat dari konteks kehidupan sehari-hari. Pernyataan permasalahan diungkapkan dengan
kalimat-kalimat yang pendek dan memberikan sedikit fakta-fakta di seputar konteks
permasalahan. Pernyataan permasalahan diupayakan memberikan peluang pada pebelajar
untuk melakukan penyelidikan. Pebelajar menggunakan kecerdasan inter dan intra-personal
untuk saling memahami dan saling berbagi pengetahuan antar anggota kelompok terkait
dengan permasalahan yang dikaji.
Mendefinisikan masalah. Pebelajar mendefinisikan masalah menggunakan
kalimatnya sendiri. Permasalahan dinyatakan dengan parameter yang jelas. Pebelajar
membuat beberapa definisi sebagai informasi awal yang perlu disediakan. Pada langkah ini,
pebelajar melibatkan kecerdasan intra-personal dan kemampuan awal yang dimiliki dalam
memahami dan mendefinisikan masalah.
Mengumpulkan fakta-fakta. Pebelajar membuka kembali pengalaman yang sudah
diperolehnya dan pengetahuan awal untuk mengumpulkan fakta-fakta. Pebelajar melibatkan
kecerdasan majemuk yang dimiliki untuk mencari informasi yang berhubungan dengan
permasalahan. Pada tahap ini, pebelajar mengorganisasikan informasi-informasi dengan
menggunakan istilah “apa yang diketahui (know)”, “apa yang dibutuhkan (need to know)”, dan
“apa yang dilakukan (need to do)” untuk menganalisis permasalahan dan fakta-fakta yang
berhubungan dengan permasalahan.
18
Menyusun dugaan sementara. Pebelajar menyusun jawaban-jawaban sementara
terhadap permasalahan. Dalam hal ini, pebelajar juga melibatkan kecerdasan interpersonal
yang dimilikinya untuk mengungkapkan apa yang dipikirkannya, membuat hubunganhubungan,
jawaban dugaannya, dan penalaran mereka dengan langkah-langkah yang logis.
Menyelidiki. Pebelajar melakukan penyelidikan terhadap data-data dan informasi
yang diperolehnya berorientasi pada permasalahan. Pebelajar melibatkan kecerdasan majemuk
yang dimilikinya dalam memahami dan memaknai informasi dan fakta-fakta yang
ditemukannya. Guru membuat struktur belajar yang memungkinkan pebelajar dapat
menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan memahami dunia mereka.
Menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan. Pebelajar
menyempurnakan kembali perumusan masalah dengan merefleksikannya melalui gambaran
nyata yang mereka pahami. Pebelajar melibatkan kecerdasan verbal-linguistic memperbaiki
pernyataan rumusan masalah sedapat mungkin menggunakan kata yang lebih tepat.
Perumusan ulang permasalahan lebih memfokuskan penyelidikan, dan menunjukkan secara
jelas fakta-fakta dan informasi yang perlu dicari, serta memberikan tujuan yang jelas dalam
menganalisis data.
Menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif. Pebelajar
berkolaborasi mendiskusikan data dan informasi yang relevan dengan permasalahan. Setiap
anggota kelompok secara kolaboratif mulai bergelut untuk mendiskusikan permasalahan dari
berbagai sudut pandang. Pada tahap ini proses pemecahan masalah berada pada tahap
menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan yang dihasilkan dengan berkolaborasi.
Kolaborasi menjadi mediasi untuk menghimpun sejumlah alternatif pemecahan masalah yang
menghasilkan alternatif yang lebih baik ketimbang dilakukan secara individual.
Menguji solusi permasalahan. Pebelajar menguji alternatif pemecahan yang sesuai
dengan permasalahan aktual melalui diskusi secara komprehensip antar anggota kelompok
untuk memperoleh hasil pemecahan terbaik. Pebelajar menggunakan kecerdasan majemuk
untuk menguji alternatif pemecahan masalah dengan membuat sketsa, menulis, debat,
membuat plot untuk mengungkapkan ide-ide yang dimilikinya dalam menguji alternatif
pemecahan.
Minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan merupakan ciri sistem sosial
yang berkembang dalam pembelajaran ini. Suasana kelas cenderung demokratis. Guru dan
19
siswa memiliki peranan yang sama yaitu memecahkan masalah, dan interaksi kelas dilandasi
oleh kesepakatan kelas.
Prinsip reaksi yang berkembang dalam pembelajaran ini adalah, bahwa guru lebih
berperan sebagai konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif, fasilitator, pemikir
tingkat tinggi. Peran tersebut ditampilkan utamanya dalam proses siswa melakukan aktivitas
pemecahan masalah.
Sarana pembelajaran dalam model problem-based learning adalah masalah-masalah
aktual dan upayakan yang bersifat ill-defined yang mampu menciptakan suasana konfrontatif
dan dapat membangkitkan proses metakognisi, berpikir tingkat tinggi, dan strategi pemecahan
masalah yang bersifat divergen.
Dalam model problem-based learning ini, pemahaman, transfer pengetahuan,
keterampilan berpikir tingkat tinggi, kemampuan pemecahan masalah, dan kemampuan
komunikasi ilmiah merupakan dampak langsung pembelajaran. Sedangkan peluang siswa
memperoleh hakikat tentatif keilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi dan kebebasan
siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin merupakan dampak
pengiring pembelajaran.
2.7 Model Penelitian Jurisprudensial
Dasar pemikiran model ini adalah terkait dengan konsepsi tentang masyarakat yang
memiliki pandangan dan prioritas yang berbeda mengenai nilai sosial yang secara hukum
saling bertentangan satu sama lain. Untuk memecahkan masalah yang kontroversial dalam
konteks sosial yang produktif, setiap warga negara perlu memiliki kemampuan untuk dapat
berbicara kepada orang lain dan berhasil dengan baik melakukan kesepakatan dengan orang
lain. Setiap warga negara harus mampu menganalisis secara cerdas dan mengambil contoh
masalah soaial, yang paling tepat pada hakikatnya berkenaan dengan konsep keadilan, hak
azasi manusia yang memang menjadi inti dari kehidupan demokrasi. Untuk dapat melakukan
aktivitas tersebut, diperlukan tiga kemampuan, yakni: (a) mengenal dengan baik nilai-nilai
yang berlaku dalam sistem hukum dan politik yang ada di lingkungan negaranya, (b)
memiliki seperangkat keterampilan untuk dapat digunakan dalam menjernihkan dan
memecahkan masalah nilai, (c) menguasai pengetahuan tentang politik yang bersifat
kontemporer yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan negaranya.
20
Yang paling tepat digunakan sebagai bidang kajian dalam model ini adalah konflik
rasial dan etnis, konflik ideologi dan keagamaan, keamanan pribadi, konflik antar golongan
ekonomi, kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan, serta keamanan nasional. Lingkup dan
tingkat kerumitan dari masing-masing bidang kajian tersebut tentu saja harus disesuaikan
dengan tingkat usia dan lingkungan siswa.
Model penelitian Jurisprudensial ini memiliki enam langkah pembelajaran (Joyse dan
Weil, 1986:268). (1) Orientasi kasus, pada tahapan ini pengajar memperkenalkan materi
pelajaran dan mereviu data yang ada. (2) Mengidentifikasi kasus, pada tahapan ini, siswa
mensintesiskan fakta-fakta ke dalam suatu kasus yang dihadapi, memilih salah satu kasus
kebijaksanaan pemerintah untuk didiskuskan, mengidentifikasi nilai-nilai dan konflik yang
terjadi, mengenali fakta yang melatarbelakangi kasus dan pertanyaan yang terdefinisikan. (3)
Menetapkan posisi, pada tahapan ini siswa menimbang-menimbang posisi atau
kedudukannya, kemudian menyatakan kedudukannya dalam konflik nilai tersebut dan dalam
hubungannya dengan konsekuensi dari kedudukan itu. (4) Mengeksplorasi contoh-contoh
dan pola-pola argumentasi, pada tahapan ini siswa menetapkan titik di mana tampak adanya
perusakan nilai atas dasar data yang diperoleh, membuktikan konsekuensi yang diinginkan dan
yang tidak diinginkan dari posisi yang dipilih, menjernihkan konflik nilai dengan melakukan
proses analogi, menetapkan prioritas dengan cara membandingkan nilai yang satu dengan
yang lainnya dan mendemonstrasikan kekurangannya bila memiliki salah satu nilai. (5)
Menjernihkan dan menguji posisi, pada tahapan ini siswa menyatakan posisinya dan
memberikan rasional mengenai posisinya tersebut, dan kemudian menguji sejumlah situasi
yang serupa, siswa meluruskan posisinya. (6) Menguji asumsi faktual yang
melatarbelakangi posisi yang diluruskannya, pada tahapan ini siswa mengidentifikasi
asumsi faktual dan menetapkan sesuai atau tidaknya, menetapkan konsekuensi yang
diperkirakan dan menguji kesahihan faktual dari konsekuensi tersebut.
Sistem sosial yang berkembang, bahwa guru memulai membuka tahapan dan bergerak
dari tahap yang satu ke tahap lainnya tergantung pada kemampuan para siswa untuk
menyesuaikan tugas-tugas belajarnya pada masing-masing tahapan. Setelah siswa mengalami
satu kali proses Jurisprudensial, diharapkan masing-masing siswa akan dapat melakukannya
tanpa bantuan dari orang lain.
21
Prinsip reaksi yang berlangsung terutama yang terjadi pada tahap keempat dan kelima
tidak bersifat evaluatif, menyetujui, atau tidak menyetujui. Apa yang dilakukan oleh guru,
merupakan reaksi terhadap komentar siswa dengan cara memberi pertanyaan mengenai
relevansi, keajegan, kekhususan, atau keumuman, dan kejelasan secara definitif. Untuk dapat
memerankan hal tersebut, guru hendaknya dapat mengantisifasi nilai yang diajukan oleh siswa
dan berkenaan dengan hal tersebut, guru hendaknya siap memfasilitasi siswa dengan hal-hal
yang menantang dan melacak kebutuhan siswa lebih jauh.
Sistem pendukung yang diperlukan dalam model ini adalah sumber-sumber dokumen
yang relevan dengan masalah. Seyogyanya disediakan sumber-sumber yang dipublikasikan
secara resmi mengenai kasus-kasus yang aktual. Guru dapat pula mengembangkan sistem
pendukung dengan cara merangkum informasi mengenai kasus-kasus dari berbagai sumber
informasi yang sangat langka atau yang memang sukar diperoleh oleh siswa. Di dalam
menerapkan model ini, dua hal yang perlu diperhatikan adalah tingkat usia siswa dan
lingkungan belajarnya.
Dampak pembelajaran model penelitian Jurisprudensial ini adalah: kemampuan
mengasumsikan peranan siswa lain dan kemampuan dalam berdialog. Sedangkan dampak
pengiring pembelajaran adalah: kerangka untuk menganalisis isu-isu sosial, empati/pluralisme,
fakta tentang masalah sosial, dan kemampuan untuk berpartisipasi melakukan tindakan sosial.
2.8 Model Penelitian Sosial
Model pembelajaran penelitian sosial mendasarkan diri pada kemampuan guru untuk
melakukan refleksi terhadap kelas di mana dia memfasilitasi siswa. Menurut Massialas dan
Cox (dalam Joys dan Weil, 1986), bahwa suasana kelas yang reflektif memiliki tiga
karakteristik utama, yaitu: (1) aspek sosial kelas dan keterbukaan dalam diskusi, (2)
penekanan pada hipotesis sebagai fokus utama, dan (3) penggunaan fakta sebagai bukti.
Model pembelajaran ini memiliki enam langkah pembelajaran. (1) Orientasi sebagai
langkah untuk membuat siswa menjadi peka terhadap masalah dan dapat merumuskan
masalah yang akan menjadi pusat penelitian. (2) Perumusan hipotesis yang akan dibuktikan
sebagai pembimbing atau pedoman dalam melakukan penelitian. (3) Penjelasan dan
pendefinisian istilah-istilah yang terkandung dalam hipotesis. (4) Eksplorasi dalam rangka
menguji hipotesis dalam kerangka validasi dan pengujian konsistensi internal sebagai dasar
22
proses pengujian. (5) Pembuktian dengan cara mengumpulkan data yang bersangkut paut
dengan esensi hipotesis. (6) Merumuskan generalisasi berupa pernyataan yang memiliki
tingkat abstraksi yang luas yang mengaitkan beberapa konsep yang erat kaitannya dengan
hipotesis.
Prinsip sosial yang berkembang ditandai dengan adanya tindakan guru mengambil
inisiatif untuk meneliti dan memandu siswa dari tahap yang satu ke tahap yang lain. Siswa
dalam melakukan proses penelitian akan sangat tergantung pada kemampuan dalam penelitian,
dan ia harus memikul tanggung jawab untuk mengikuti proses dari tahap satu hingga tahap
akhir.
Prinsip reaksi guru lebih ditandai oleh peranannya sebagai konselor yang bertugas
membantu para siswa untuk menjernihkan kedudukannya, memperbaiki proses belajar,
merencanakan, mengembangkan, dan melaksanakan pembelajaran. Guru bertugas membantu
siswa dalam penggunaan bahasa yang komunikatif, logika yang rasional, obyektif, pengertian
tentang asumsi, dan berkomunikasi secara efektif dengan siswa lain. Akibat dari tugas
tersebut, guru lebih memiliki peranan yang bersifat reflektif, di kelas tempatnya memfasilitasi
siswa memahami dirinya dan mampu menemukan alur berpikir sendiri. Dengan demikian,
guru selalu bertindak sebagai penjernih, pengarah, konselor, dan instruktur.
Sistem pendukung utama yang diperlukan dalam mengimplementasikan model
pembelajaran ini adalah, pengembangan cara pemecahan masalah kehidupan yang fleksibel,
sumber kepustakaan yang takterbatas, dan akses informasi yang lain sebagai sumber belajar
yang baik. Lingkungan belajar yang kaya akan informasi sangat diperlukan keberadaanya,
sehingga memberi peluang secara optimal kepada siswa untuk melakukan proses penelitian
dengan baik.
Dampak pembelajaran model penelitian sosial ini adalah: penjagaan terhadap masalahmasalah
sosial dan komitmen terhadap peningkatan kualitas siswa sebagai warganegara.
Sedangkan dampak pengiringnya adalah: penghargaan terhadap hak azasi manusia, tindakan
sosial, dan toleransi dalam berdialog.




































BAB 3
KESIMPULAN


Perencanaan pembelajaran sangat penting untuk membantu guru dan siswa dalam
mengkreasi, menata, dan mengorganisasi pembelajaran sehingga memungkinkan peristiwa
belajar terjadi dalam rangka mencapai tujuan belajar.
Model pembelajaran sangat diperlukan untuk memandu proses belajar secara efektif.
Model pembelajaran yang efektif adalah model pembelajaran yang memiliki landasan teoretik
yang humanistik, lentur, adaptif, berorientasi kekinian, memiliki sintak pembelajaran yang
sedehana, mudah dilakukan, dapat mencapai tujuan dan hasil belajar yang disasar.
Model pembelajaran yang dapat diterapkan pada bidang studi hendaknya dikemas
koheren dengan hakikat pendidikan bidang studi tersebut. Namun, secara filosofis tujuan
pembelajaran adalah untuk memfasilitasi siswa menjadi pemikir kritis, humanis, lentur, dan
adaptif dalam menerapkan pengetahuan di dunia nyata. Model-model pembelajaran yang
dapat mengakomodasikan tujuan tersebut adalah yang berlandaskan pada paradigma
konstruktivistik sebagai paradigma alternatif.
Model problem solving and reasoning, model inquiry training, model problem-based
instruction, model conceptual change instruction, model group investigation, model problembased
learning, model penelitian Jurisprudensial, model penelitian sosial, dan masih banyak
lagi model-model yang lain yang berlandaskan paradigma konstruktivistik, adalah modelmodel
pembelajaran inovatif yang sesuai dengan hakikat pembelajaran humanis populis.



DAFTAR PUSTAKA


Ardhana, W., Kaluge, L., & Purwanto. 2003. Pembelajaran inovatif untuk pemahaman dalam
belajar matematika dan sains di SD, SLTP, dan di SMU. Laporan penelitian.
Penelitian Hibah Pasca Angkatan I tahun I. Direktoral Penelitian dan Pengabdian Pada
Masyarakat. Ditjen Dikti. Depdiknas.
Ardhana, W., Kaluge, L., & Purwanto. 2004. Pembelajaran inovatif untuk pemahaman dalam
belajar matematika dan sains di SD, SLTP, dan di SMU. Laporan penelitian.
Penelitian Hibah Pasca Angkatan I tahun II. Direktoral Penelitian dan Pengabdian Pada
Masyarakat. Ditjen Dikti. Depdiknas.
Arends, R. I., Wenitzky, N. E., & Tannenboum, M. D. 2001. Exploring teaching: An
introduction to education. New York: McGraw-Hill Companies.
Brooks, J.G. & Martin G. Brooks. 1993. In search of understanding: The case for
constructivist classrooms. Virginia: Association for Supervision and Curriculum
Development.
Burden, P. R., & Byrd, D. M. 1996. Method for effective teaching, second edition. Boston:
Allyn and Bacon.
Costa, A. L.1991. The school as a home for the mind. Palatine, Illinois: Skylight Training and
Publishing, Inc.
Dochy, F. J. R. C. 1996. Prior knowledge and learning. Dalam Corte, E. D., & Weinert, F.
(eds.): International Encyclopedia of Developmental and Instructional Psychology.
New York: Pergamon
Duit, R. 1996. Preconception and misconception. Dalam Corte, E. D., & Weinert, F. (eds.):
International Encyclopedia of Developmental and Instructional Psychology. New
York: Pergamon
Fogarty, R. 1997. Problem-based learning and other curriculum models for the multiple
intelligences classroom. Arlington Heights, Illinois: Skylight Training and Publishing,
Inc.
Gardner, H. 1991. The unschooled mind: How children think and how schools should teach.
New York: Basic Books.
Gardner, H. 1999. Intelligence reframed: Multiple intelligences for the 21th century. New
York: Basic Books.
Gunter, M. A., Estes, T. H., & Schwab, J. H. 1990. Instruction: A models approach. Boston:
Allyn and Bacon.
Hynd, C.R., Whorter, J.Y.V., Phares, V.L., & Suttles, C.W. 1994. The rule of instructional
variables in conceptual change in high school physics topics. Journal of Research In
Science Teaching. 31(9). Pp.933-946.
Joyce, B., & Weil, M. 1980. Model of teaching. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Krulik, S., & Rudnick, J. A. 1996. The new sourcebook for teacing reasoning and problem
solving in Junior and Senior High School. Boston: Allyn and Bacon.
Parawansa, P. 2001. Reorientasi terhadap strategi Pendidikan Nasional. Makalah. Disajikan
dalam simposium Pendidikan Nasional dan Munas I alumni PPS.UM. di Malang, 13
Oktober 2001.
Perkins, D. N., & Unger, C. 1999. Teaching and learning for understanding. Dalam Reigeluth,
C. M. (Ed.): Instructioal-design theories and models: A new paradigm of instruction
theory, Volume II. New Jersey: Lawrence Erlboum Associates, Publisher.
25
Puskur. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi dan hasil belajar mata pelajaran matematika.
Jakarta: Puskur. Balitbang. Depdiknas.
Rivard, L. P. 1994. A review of writing to learn in science implications for practice and
research. Journal of Research in Science Teaching. 31(9). pp. 969-983.
Reigeluth, C. M. 1999. What is instructional-design theory and how is it changing? Dalam:
Reigeluth, C. M. (Ed.). Instructional-design theories and models: A new paradigm of
instructional theory, volume II. 5-29. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates,
Publisher.
Santyasa, I W. 2003(a). Pendidikan, pembelajaran, dan penilaian berbasis kompetensi.
Makalah. Disajikan dalam seminar Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja,
27 Februari 2003, di Singaraja.
Santyasa, I W. 2003(b). Asesmen dan kriteria penilaian hasil belajar fisika berbasis
kompetensi Makalah. Disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Bidang Peningkatan
Relevansi Program DUE-LIKE Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja,
Tanggal 15-16 Agustus 2003, di Singaraja
Santyasa, I W. 2003(c). Pembelajaran fisika berbasis keterampilan berpikir sebagai alternatif
implementasi KBK. Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional Teknologi
Pembelajaran, 22-23 Agustus 2003, Di Hotel Inna Garuda Yogyakarta.
Santyasa, I W., Subratha, I N., & Suwindra, I N. P. 2003. Pembelajaran fisika berbasis model
rekonstruksi pengetahuan kognitif dan pengaruhnya terhadap hasil belajar. Laporan
penelitian. Research grant program DUE-LIKE Jurusan Pendidikan Fisika IKIP
Negeri Singaraja. Lembaga Penelitian IKIP Negeri Singaraja.
Santyasa, I W. 2004. Pengaruh model dan seting pembelajaran terhadap remediasi
miskonsepsi, pemahaman konsep, dan hasil belajar fisika pada siswa SMU. Disertasi
(tidak diterbitkan). Program Doktor Teknologi Pembelajaran Program Pascasarjana
Universitas Negeri Malang.
Savery, J. R., & Duffy, T. M. 1996. Problem based learning: An instructional model and its
constructivst framework. Dalam Wilson, B. G. (Ed.): Constructivist learning
environment: Case studies in instructional design. 135-148. New Jersey: Educational
Technology Publications Englewood Clifs.
Siskandar. 2003. Teknologi Pembelajaran dalam kurikulum berbasis kompetensi. Makalah.
Disajikan pada Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran pada tanggal 22-23 Agustus
2003 di Hotel Inna garuda Yogyakarta.
Suyanto, 2001. Formula Pendidikan Nasional era global. Makalah. Disajikan dalam
simposium Pendidikan Nasional dan Munas I alumni PPS.UM. di Malang, 13 Oktober
2001.